spot_img

Tak Ada Kemusyrikan Meyakini Pancasila, Tak Ada Kekafiran dalam Demokrasi

Kelompok radikal mengkalim bahwa dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila merupakan ideologi yang membuat yang meyakininya telah syirik. Pun menganggap UUD 1945 sebagai aturan jahiliyah. Tak berhenti di situ, kelompok yang biasa diwakili oleh ISIS, HTI, JAD, dan bahkan FPI ini, juga menganggap Demokrasi sebagai sistem taghut, karena bertentangan dengan kedaulatan Tuhan. Kelompok impoten di dalam beragama ini seenaknya saja menyimpulkan kalau meyakini Pancasila, UUD, Demokrasi dan NKRI, sama dengan mendahulukan hukum buatan manusia dan mengabaikan hukum Allah. Menentang syariat Islam.

Bak Khawarij, kelompok-kelompok ekstrim ini selalu memperkosa ayat-ayat Al-Qur’an untuk melegitimasi kesalahan nalarnya itu. ISIS misalnya, menggunakan QS. Yusuf ayat 40 dengan tuduhan tidak ada hukum selain hukum Allah, dan menuduh empat pilar negara sebagai hukum kufur. HTI, dengan memanipulasi QS. Al-Maidah ayat 44 bahwa siapa saja yang berhukum selain hukum Allah maka ia kafir, menuduh orang-orang Indonesia yang percaya kepada Demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 telah kafir sebab tidak menerapkan hukum Allah. Pada akhirnya, kelompok ekstrim ini melontarkan satu sistem kekuasaan untuk memenuhi hasrat kekuasaannya, yaitu khilafah Islamiyyah.

Kelompok radikal ekstimis yang sering mengkafir-kafirkan Pancasila dan Demokrasi ini memang sejatinya adalah Khawarij versi masa kini. Ciri-cirinya mirip dengan Khawarij di zaman sahabat Nabi dahulu. Misalnya, ia terlalu tekstual dan merasa paling mentaati ajaran Al-Qur’an. Misalnya, Khawarij tetap mengharuskan wanita haid untuk melakukan puasa sebab di dalam Al-Qur’an wanita haid tidak masuk sebagai orang yang sakit, bepergian, atau berhalangan dalam berpuasa. Padahal di dalam sebuah hadits, riwayat Imam Bukhari, Sayyidah Aisyah berkata, “Saat haid, kami diperintahkan untuk menqodho puasa, dan tidak diperintah menqodho salat.” 

Artinya, untuk memahami suatu ayat di dalam Al-Qur’an, juga perlu memahami hadits. Tak hanya berhenti pada teks Al-Qur’an, karena Nabi Muhammad juga diutus untuk menjelaskan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an. Selain hadits, di dalam kajian Islam ada banyak perangkat yang lain untuk memahami teks Al-Qur’an, seperti ijma’, qiyash, dan qaul ulama mu’tabar. Selain itu juga dapat ditafsirkan dalam berbagai cara pandang, seperti cara pandang sosial, tasawuf, fikih, dan keiilmuan-keilmuan selainnya. Memahami Al-Qur’an hanya dengan memahami teks Al-Qur’an hanya akan berujung pada tindakan ekstrim laiknya Khawarij dan generasi-generasi setelahnya itu.

Pun demikian di dalam memaknai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Demokrasi, bukan berarti ketika keempatnya tidak termaktub di dalam Al-Qur’an lantas dianggap sebagai hukum selain hukum Allah. Islam memandang sesuatu lebih kepada esensi, bukan hanya simbol semata. Sebagaimana ditegaskan di dalam QS. Fushilat ayat 33. Pancasila memang secara simbolik, tidak ada di dalam teks Al-Qur’an, akan tetapi nilai-nilai dalam lima silanya, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan, semuanya sejalan dengan misi Islam. Pun dengan UUD 1945 dan demokrasi, di dalamnya sarat dengan nilai-nilai Islam, seperti musyawarah, persatuan, dan keadilan.

Menggunakan demokrasi di dalam bernegara merupakan sebuah ijtihad untuk menjunjung tinggi agama Islam. Sebagaimana Nabi Muhammad mendirikan negara Madinah dengan mewadahi semua pemeluk agama, tujuannya agar juga umat Islam tebangan di dalam beribadah. Daripada negaranya negara Islam, tetapi di dalamnya penuh dengan pertikaian antar sesama dan orang di luar Islam. Pun dengan menggunakan Pancasila, adalah sama dengan Nabi menggunakan Piagam Madinah dalam konteks bernegara. Pancasila dan Piagam Madinah esensinya sama, untuk mewujudkan keadilan, persatuan dan kemaslahatan untuk semua umat. Sebab Nabi tidak diutus hanya untuk orang Islam, tetapi untuk seluruh alam.

Indonesia ibarat kain putih, yang jika ingin penuh warna dalam harmoni, di dalamnya harus ada agama-agama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Protestan. Untuk mewujudkan ini semua cara paling ideal adalah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Demokrasi, sebagaimana di atas disebutkan. Meyakini Pancasila bukan sama sekali perbuatan musyrik, sebab tidak ditujukan untuk mensekutukan Allah. Berpancasila agar semua makhluk Allah dapat hidup nyaman, tentram dan penuh persaudaraan. Pun dengan berdemokrasi, kita tidak akan menjadi kafir. Sebab demokrasi tidak diproyeksikan agar seseorang keluar dari agama Islam. Orang yang demokratis tetap teguh dengan keislamannya, dengan cita-cita wujudkan kemaslahatan untuk semua bangsa. Wallahu A’lam.[]

Artikel dimuat di sangkalifah.co

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles