spot_img

Semangat Beragama Yang Tak Dirindukan Agama

Entah apa penyebutan yang cocok untuk mewakili kondisi keberagamaan sebagian Muslim yang sukar untuk dipahami. Bukan karena perkara itu sulit, tetapi karena si pemilik karakter itu yang sulit menerima pendapat orang. Kita sangat mafhum dengan keniscayaan sebuah perbedaan pendapat dan karena itu adalah fitrah manusia. Kita sendiri ada karena wasilah perbedaan yang bersatu. Tetapi jika perbedaan itu bersumber dari kelalaian rasanya hal ini yang sulit diterima. Kondisi inilah yang sekarang sedang menjamur di tengah masyarakat yang dirundung dua musibah, wabah dan beragama tak sesuai agama.

Ada Sebagian kalangan umat Islam yang keras mengkritisi fatwa yang dikeluarkan MUI terkait aktivitas beragama di masa wabah, terutama tentang anjuran sementara menutup tempat ibadah dan tidak melaksanakan rutinitas keagamaan seperti biasa. Seperti solat berjama’ah, jumatan, tarawih, idul fitri atau apapun yang berhubungan dengan kerumunan. Memang, kita tidak dibenarkan untuk tidak anti terhadap perbedaan pendapat asalkan perbedaan tersebut bersumber dengan landasan yang kokoh bukan hanya mengandalkan semangat yang salah kaprah. Apalagi seolah-olah bertindak seperti seorang alim berfatwa dengan mengusung beberapa ayat, hadis dan beberapa kaidah usul fiqih hasil kopas dari media sosial.

Terkadang dengan penuh percaya diri mereka mengatakan bahwa siapapun yang ikut andil dalam penutupan masjid di masa wabah ini ia akan mendapatkan azab dari Allah kelak di akhirat. Dengan mengusung ayat ke 114 surat Al-Baqarah, mereka membuat pembenaran atas perilakunya itu. Agaknya pernyataan di atas cukup terburu-buru. Betapa tidak, dengan “minim pertimbangan”, seseorang berani mengatakan bahwa siapapun yang ikut andil dalam penutupan masjid tersebut akan ikut bertanggung jawab di akhirat kelak dihadapan Allah Swt. sebagai seorang yang berdosa.

Sikap seperti di atas merupakan sikap yang terburu-buru memvonis orang lain tanpa pertimbangan yang didukung dengan ilmu pengetahuan. Padahal sangat jelas jika kita bertindak (berkomentar/atau apapun itu) tanpa dasar ilmu, tindakan kita akan tertolak. Kita tidak sedang meremehkan kandungan ayat tersebut di atas, namun kritis terhadap pemikiran orang yang dengan mudah mencomot ayat dan menyajikannya secara”mentah”.

Untuk memberikan kritik, hematnya, paling tidak harus ada landasan kaidah ketika kita akan mengambil istinbath hukum dari sebuah ayat Al-Qur’an dengan seabreg syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Seperti asbab nuzul, membedakan mana yang muthlak dan muqayyad, ‘am dan khashnya, belum lagi bagaimana indikasi berdasarkan redaksi (dilalah lafdziyah) dan banyak lagi seperti yang telah disepakati oleh spesialis bidang ini. Nah sementara mereka dengan sangat mudah melakukan pencomotan “sekarepe dewek” terhadap ayat Al-Qur’an. Tindakan tersebut tentu tidak dibenarkan agama.

Atau tidak usah kita lihat dari kacamata ilmu, untuk mengatakan bahwa logika yang mereka bangun jelas kurang baik, kita cukup lihat dengan kacamata logika sederhana saja yang mudah dipahami oleh orang awam saya sekalipun. Kita tentu akan menolak ketika kita sakit kemudian seorang yang bukan dokter memberikan dosis obat tertentu untuk kita konsumsi sebagai penawar sakit yang diderita. Saya yakin jika orang tersebut waras akalnya pasti tidak akan begitu saja percaya pada anjuran orang yang bukan ahli di bidangnya.

Apa yang terjadi di dunia ini berlaku sunntullah (hukum sebab akibat) yang juga perlu kita indahkan sebagai ketentuan Allah untuk kita patuhi, tanpa harus kehilangan keyakinan kita terhadap inayatullah yang jauh berada di atas sunnatullah tersebut. Jadi mari kita gunakan akal yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Paling sederhana lagi mungkin perlu kita ingat, kalau kita tidak mampu dan bukan ahli di bidangnya cukuplah untuk tidak ikut berfatwa seolah ahlinya.

Semangat dalam beribadah memang sangat dianjurkan, tetapi ada juklak dan juknis yang juga perlu dipertimbangkan. Jangan sampai karena dorongan semangat yang menggebu lalu kita mengabaikan kedua term tadi. Walau kita tahu fungsi obat sebagai penawar namun akan jadi racun jika dosisnya tidak sesuai, apalagi ini Al-Qur’an. Menggunakannya padahal kita bukan ahlinya, bisa jadi berakibat fatal bagi diri kita dan juga orang banyak.

Dengan semangat beragama yang menggebu jangan sampai kita sembrono memaksakan untuk melaksanakan ibadah berjamaah di masjid di masa pandemi, apalagi di daerah yang telah ditetapkan sebagai zona bahaya. Jangan mudah menggunakan ayat Al-Qur’an tanpa tahu kandungan maknanya yang hanya bisa digali dengan perangkat keilmuannya. Di masa pandemi ini, para ulama kita telah melakukan sebuah kesepakatan (ijma’) demi kemaslahatan umat. Hal yastawi alladzina ya’lamuna wa alldzina la ya’lamun?

Penulis: Indra Timur Langit (Mahasiswa Institut PTIQ Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles