spot_img

Revitalisasi Makna Perjuangan Perempuan Untuk Ketahanan Ekonomi Keluarga dalam Menghadapi Covid-19 (Bagian II)

Konsep Islam tentang Kiprah Perempuan di Sektor Publik

Islam memberikan kebebasan pada perempuan dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam kerangka kerja dan fungsi. Dalam Al-Qur’an di antaranya ditegaskan.

Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. An Nahl: 97).

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam memiliki semangat terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh adalah kedudukan perempuan yang dalam tradisi masyarakat Arab waktu itu tidak berhak atas warisan kemudian Islam memperbaruinya dalam hal memberikan ketentuan tentang bagian warisan bagi kaum perempuan. Dalam ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang-orang yang beriman dan beramal saleh baik laki-laki atau perempuan kelak pasti ia akan mendapat pahala atau balasan yang sama dan lebih dari apa yang mereka kerjakan. Adapun orang orang yang berpaling dari mengingat Allah, sehingga dia tidak beriman dan tidak mengerjakan amal saleh maka dia senantiasa berada dalam kesusahan.

Rasulullah saw. dalam sejarah Islam adalah orang yang memberikan posisi yang tinggi dan bermartabat pada perempuan. Dalam sejarah Islam patut dicatat beberapa nama shahabiyat yang telah terlibat cukup intens dan berpengaruh besar di sektor publik. Di bidang ekonomi, Khadijah binti Khuwaylid, seorang perempuan yang berakhlak, terhormat dan berada dalam kehidupan yang dianugerahi kekayaan dan kewibawaan (Ghadanfar, 2001: 23).

Beliau seorang pengusaha besar dan sukses memimpin banyak karyawan laki-laki yang membawa barang-barangnya untuk diekspor ke wilayah Syiria, Syam, dan lain-lain. Mekah saat itu adalah kota yang sangat strategis dan menjadi pusat perdagangan internasional. Nabi Muhammad saw. sebelum menjadi suami beliau telah terpilih sebagai orang yang sangat dipercaya (Al-Amin) untuk bermitra dengannya melalui sistem bagi hasil (syirkah).

Selain itu disebut juga dalam Musnad Ahmad beberapa nama perempuan yang aktif bekerja antara lain: pada bidang pertanian di Madinah ada Asma’ dari kelompok Anshar, Shifa’ binti Abdullah berkiprah dalam hal seni kaligrafi, Aisyah dan Ummu Salamah yang sangat baik hafalannya dan pemahamannya dalam periwayatan hadis dan pengajaran Al-Qur’an, Khawalah, Maleekah, Thaqafiyah binti Fakhriyyah berbisnis parfum (‘Itar), Saudah berkerja dalam bidang industri (Ghadanfar, 2001: 15-16).

Pada masa penyebaran Islam di Madinah, Nusaybah juga dikenal sebagai Umm ‘Ammara adalah perempuan dari bani Najjar, dia adalah salah satu tokoh wanita pertama dari Madinah yang memeluk Islam di tengah kaum muslimin laki-laki lainnya yang berjumlah 74 orang. Selanjutnya Zainab binti Ali, tokoh pejuang perempuan Islam yang mempunyai keberanian, kesabaran dan kebijaksanaan. Beliau ikut terlibat dalam perang.

Pada masa itu jarang sekali ada wanita yang punya ilmu pengetahuan; Malika al-Hurra Arwa al-Sulayhi binti Ahmad, Ratu Islam di kerajaan Yaman;  Shajar al-Durr, seorang ratu Islam yang mampu memimpin dan memiliki pengetahuan yang luas. Para perempuan terbukti sepanjang sejarah telah berkiprah dan bekerja di berbagai bidang untuk memberikan kontribusi dalam membangun peradaban dan pertumbuhan negara.

Merujuk dasar agama berupa ayat dan hadis-hadis, tidak ada tempat dalam Islam sikap eksploitasi atau diskriminasi terhadap perempuan apapun alasannya. Seperti dikatakan oleh Abdullah Ahmad An Na’im dalam bukunya Toward an Islamic Reformation (1994: 339), bahwa segala bentuk dikriminasi atas nama gender ataupun yang lainnya selain bertentangan dengan tujuan (maqashid syar’iyyah) berupa keadilan yang bersifat universal juga bertentangan dengan hak-hak asasi manusia itu sendiri.

Demikian pula jika dikaitkan dengan UUD 1945 dan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979, maka secara moral dan politis tidak dibenarkan adanya sikap diskriminasi termasuk terhadap perempuan dengan alasan gender. Sejumlah literatur Islam tersebut jelas perempuan berada pada posisi strategis untuk turut terlibat di arena publik. Bahkan, tidak ada larangan bagi perempuan untuk berkarir terlebih dalam situasi sulit dimana tanggung jawab mencari nafkah menjadi kewajiban bersama antara suami dan isteri.

(Artikel ini bersambung)

Penulis: Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag. Beliau adalah Guru Besar Ekonomi Islam dan Ketua Program Studi Doktor (S3) Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles