spot_img

Menyoal Anggapa Laki-Laki Berhak Memimpin Daripada Perempuan: Tafsir QS. An-Nisa [4]: 34

“الرجال قوامون على النساء بمافضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم” 

Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lainnya (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya.

Konsep pemimpin merupakan salah satu isu yang senantiasa dikaji dan dibahas di beberapa cabang ilmu pengetahuan; seperti Agama, Tafsir Al-Qur’an, Feminisme Islam, dan filsafat Islam. Dalam kajian agama, konsep pemimpin dipahami sebagai individu yang memperoleh perintah-Nya untuk mengarahkan individu lain menuju fase ketakwaan di muka bumi.

Adapun, konsep pemimpin dalam dimensi filsafat dipahami secara radikal atau mendalam, yaitu suatu entitas yang mengarahkan sekumpulan individu dalam tatanan masyarakat menuju sebuah cita-cita universal, yaitu kebahagiaan, sebagaimana pandangan Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan suatu tujuan utama yang diharapkan oleh setiap individu. 

Ragam penjelasan mengenai konsep pemimpin dalam diskursus filsafat Islam dan agama mengonfirmasi bahwa pemimpin ialah seseorang yang memiliki kemampuan mengarahkan masyarakat menuju cita-cita universal tanpa melihat jenis kelamin yang sering dikambinghitamkan sebagai syarat utama menjadi seorang pemimpin dalam konteks sosial.

Sebagaimana para Mufasir mengkonfirmasi keutamaan laki-laki sebagai pemimpin melalui QS. An-Nisa [4]: 34. Thathabari  dalam tafsirnya menjelaskan makna penggalan QS. An-Nisa [4]: 34 ialah kaum laki-laki memiliki peran untuk membimbing perempuan dalam melaksanakan kewajibannya kepada Allah Swt.

Pandangan Thathabari  selaras dengan pandangan  Ibn Katsir dalam kitabnya berjudul Tafsir al-Qur’an al-‘Azīm menjelaskan bahwa kalimat الرجال قوامون على النساء bermakna kaum laki-laki memiliki tugas untuk mendidik, memimpin, dan mengajarkan segala sesuatu berkaitan dengan rumah tangga kepada kaum perempuan.

Pandangan kedua mufasir di atas, secara niscaya mendeskripsikan laki-laki memiliki kedudukan utama sebagai pemimpin untuk memimpin individu lainnya (perempuan) menuju suatu cita-cita universal.

Sehingga, hal ini memicu hadirnya perdebatan konsep pemimpin dalam diskursus ilmu pengetahuan yang mengarah pada perkembangan pola pikir patriarki dalam paradigma individu memandang bahwa eksistensi pria bersifat agung dan mulia daripada keberadaan selainnya, kaum perempuan di dunia.

Berdasarkan masalah tersebut, para feminisme kontemporer berusaha memahami kembali makna QS. An-Nisa: 34 الرجال قوامون على النساء dengan menelaah kata الرجال  dan النساء sebagai istilah penting memahami eksistensi laki-laki dan wanita dalam konteks pemimpin.

Nasruddin Umar menjelaskan bahwa istilah الرجال dan النساء tidak merujuk pada masalah biologis, seperti jenis kelamin melainkan merujuk sifat-sifat kejantanan atau maskulin sehingga individu memiliki sifat maskulin dapat dinisbahkan sebagai الرجال, sedangkan individu tidak memiliki sifat maskulin dikategorikan dalam istilah النساء.

Sampai di sini, kita mengetahui kata الرجال dalam QS. An-Nisa ini tidak dapat dimaknai jenis kelamin laki-laki, melainkan pada sifat maskulin sehingga setiap individu tanpa memiliki potensi untuk membimbing dan memimpin individu lain di dunia. Pemaknaan kata الرجال dalam QS. An-Nisa: 34 dalam persepktif Nasruddin Umar memiliki kesalarasan dengan Aminah Wadud Muhsin.

Pemaknaan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bersifat universal bagi manusia, sehingga tidak bisa ditafsirkan secara partikular. Jika Al-Qur’an memberikan pesan secara spesifik kepada suatu suku, budaya, dan gender, maka keberadaan kitabullah tidak berlaku kepada setiap individu di dunia. Implikasinya, Al-Qur’an dipandang sebagai kitab pedoman kelompok masyarakat tertentu.

Aminah Wadud Muhsin memandang kata-kata yang terdapat di dalam QS. An-Nisa [4]: 34 memiliki makna berbeda dengan bahasa sehari-hari manusia. Sehingga setiap individu harus memahami setiap istilah dalam Al-Qur’an secara mendalam, tidak sekadar mengetahui bunyi suatu kata yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tapi untuk menghasilkan pemahaman yang bersifat eksplanatif dan komprehensif yang tidak terjebak pada problem gender yang justru menciptakan bias gender dalam Al-Qur’an.

Dengan melihat ragam permasalahan di atas, tentu dibutuhkan sebuah solusi untuk memahami kembali QS. An-Nisa [4]: 34 secara komprehensif. Dalam tulisan ini, penulis berusaha menjelaskan penafsiran Makarim Shirazi terhadap QS. An-Nisa [4]: 34 dengan menggunakan Al-Amthāl sebagai rujukan utama dalam tulisan ini.

Pembahasan utama yang dijelaskan oleh Makarim Shirazi, ialah bahwa QS. An-Nisa [4]: 34 ini berbicara mengenai konsep pemimpin yang bertujuan untuk membimbing masyarakat menuju sebuah tujuan bersifat universal.

Makarim al-Shirazi sependapat dengan pandangan Nasruddin Umar dan Aminah Wadud bahwa kalimat الرجال قوامون على النساء tidak dapat diterjemahkan laki-laki memimpin perempuan, akan tetapi perlu kata الرجال mengarah kepada setiap individu memiliki kemandirian untuk mengatur dan menjaga keberadaannya dan masyarakat dari berbagai ancaman.

Makarim al-Shirazi menyebutkan salah satu karakteristik seorang dikatakan pemimpin ialah berani menjaga sesuatu yang berharga dalam kehidupannya. Jika seseorang telah menjadi pemimpin  di suatu wilayah, maka ia akan memandang bahwa masyarakat dalam wilayah tersebut merupakan masyarakat yang berharga dan harus dijaga. Makarim al-Shirazi menjelaskan bahwa mereka memiliki aspek keberanian menjaga dapat dinisbahkan sebagai الرجال untuk melindungi eksistensi lain disebut النساء.

Lebih lanjut, Makarim al-Shirazi menjelaskan pengetahuan merupakan salah satu karakteristik lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau الرجال, sebab, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan untuk membimbing dan memimpin orang lain menuju jalan yang benar.

Setiap individu memiliki potensi untuk mengetahui sesuatu bersifat benar, sehingga kaum laki-laki dan wanita dapat dikatakan sebagai الرجال untuk membimbing dan memimpin eksistensi selain dirinya di dunia.

Penafsiran Makarim al-Shirazi terhadap penggalan QS. An-Nisa[4]: 34 mendeskripsikan corak kesetaraan gender bahwa setiap laki-laki dan wanita memiliki potensi untuk memimpin satu sama lain tanpa memandang aspek jenis kelamin sebagai aksiden keberadaan manusia.

Menurut Makarim Al-Shirazi, pendekatan biologis untuk menafsirkan penggalan surah QS. An-Nisa: 34 merupakan sesuatu yang tidak bersifat esensial. Setiap individu harus memahami pesan inti Al-Qur’an secara universal, sebagaimana kitabullah merupakan pedoman bagi setiap umat Muslim, tanpa memandang aspek aksidental, seperti jenis kelamin, ras, dan suku dalam hidupnya.

Berdasarkan ragam penjelasan di atas, dapat kita ketahui bersama bahwa konsep pemimpin dalam QS. An-Nisa[4]: 34 menurut Makarim Shirazi menjelaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang aspek aksidental memiliki potensi untuk menjadi seorang pemimpin dengan melihat beberapa kriteria, seperti berpengetahuan dan berani untuk membimbing individu meraih cita-cita bersifat universal di realitas.

Pandangan Makarim Shirazi identik dengan pandangan Al-Farabi yang menjelaskan bahwa kriteria utama seorang pemimpin harus diukur berdasarkan kekuatan akal untuk mengatur tatanan masyarakat secara teoritis dan keberanian untuk melindungi wilayah yang dipimpin.

Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep pemimpin tidak dapat diukur berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi harus dilihat secara kriteria-kriteria yang bersifat esensial untuk membimbing dan mengarahkan individu dalam bingkai sosial.

Sumber Referensi:

Al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah. Beirut: Dar al-Masyriq, 2002.
Amina Wadud. Al-Qur’an dan Perempuan.
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Serambi Ilmu, 2015.
Ismail Ibn Umar Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’an al-Azīm. Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1419 H.
Laila Badriyah. “Epistemologi Pendidikan Islam Menuju Perspektif Gender”. Vol. 5, no. 1.
Muhammad Ibn Jarīr al-Thabarī, Tafsir al-Thabari. Qom: Dar al-Islam, 1430 H.
Muhammad Yusuf. “Penciptaan dan Hak Kepemimpinan Perempuan dalam al-Qur’an”. Makassar: Jurnal al-Fikr, 2013. Vol. 17, no. 1.
Nasir Makarim al-Shirazi. Tafsir al-Amthāl fi tafsir kitabillah al-Munzal.
Nasitotul Janah. “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Persepktif al-Qur’an Karya Nasruddin Umar.
Nasruddin Umar. Argumentasi Kesetaran Jender Persepktif al-Qur’an.

Penulis: Nurul Khair (Mahasiswa Magister Universitas Ahlul Bait Tehran, Iran).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles