spot_img

Menyibak Makna Kematian Perspektif Al-Qur’an

Berbicara kematian, membuat dada kita sempit seketika. Jantung berdebar, seolah kehidupan dunia tidak bermakna sama sekali. Pandemik dan konflik membuat kita terjebak dalam kecemasan. Setiap hari, jumlah korban terus bertambah. Tanpa kejernihan dan sikap kritis, semua ini bisa membuat orang tenggelam dalam ketakutan yang justru membunuhnya. Terutama pada saat berbagai peristiwa bertubi-tubi menerpa kehidupan peradaban manusia.

Dari kematian seorang ulama sampai kematian penyanyi Glenn Fredly yang memberikan inspirasi bagi setiap orang menjadikan kematian bagaikan sebuah eskalator yang menjemput tiap-tiap jiwa yang bernyawa menuju kepada batas hak guna hidup di dunia. Jika disadari lebih dalam, kematian selalu mengintai kita setiap saat. Sejak lahir, kita selalu sudah menuju kematian.

Martin Heidegger, pemikir Jerman, memahami manusia sebagai makhluk yang berada menuju kematian (Sein zum Tode). Setiap detiknya, sejak kita lahir, sebenarnya, kita sudah selalu sekarat. Bagi Al-Ghazali kematian bukan bermakna ketiadaan kehidupan (nafi al hayah), tetapi kematian adalah perubahan kehidupan (taghayyur hal). Dengan kematian, hidup bukan tidak ada, melainkan bertransformasi dalam bentuknya yang lebih sempurna.

Sebagian orang justru selalu melihat dengan pandangan yang salah tentang kematian. Kematian dianggap sebagai hantu yang menakutkan. Bagi kelompok materialisme maupun modernisme seperti yang ada di film-film, kematian dianggap sebuah kekalahan. Maka kematian menurut mereka mesti dihindari dengan berbagai alat tekhnologi yang dicari agar dapat memanjangkan umur. Mereka beranggapan bahwa kehidupan dunia merupakan puncak kehidupan manusia.

Klaim mereka tentu sebaliknya. kenyataanya, banyak orang semasa hidup mereka tertidur (tak memiliki kesadaran), tetapi justru setelah kematian mereka bangun (hidup). “Al-Nas niyam, fa idza matu intabihu,” demikian kata Imam Ali. Mestinya kepasrahan akan kematian adalah hal yang lumrah secara alami bagi manusia. Karena manusia berbeda dengan hewan, kita merencanakan kebahagian hidup namun tidak lepas dan sadar bahwa kita akan mati.

Jalaluddin Rumi, seorang penyair dalam kitab Mastnawinya berkata : “Jika takut akan kematian, kau takut pada dirimu sendiri, karena itu wajah burukmu, bukan wajah kematian”. Dalam Al-Qur’an, ada beberapa istilah yang dipergunakan Allah Swt. untuk mengartikan kematian. Pertama, kata al-maut (kematian) itu sendiri. Kata ini dalam bentuk kata benda diulang sebanyak 35 kali.

Al-Maut menunjuk pada terlepasnya (berpisah) ruh dari jasad manusia. Kepergian ruh membuat badan tak berdaya dan kemudian hancur-lebur menjadi tanah. Allah Swt. berfirman:

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ

Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain. (QS. Thaha [20]: 55).

Kedua, kata Al-Wafah (wafat). Kata ini dalam bentuk fi`il diulang sebanyak 19 kali. Al-Wafah memiliki beberapa makna, antara lain sempurna atau membayar secara tunai. Jadi, orang mati dinamakan wafat karena ia sesungguhnya sudah sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita tak perlu berkata, sekiranya tak ada bencana alam si fulan tidak akan mati. Di dalam Al Qur’an Allah berfirman:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Ketiga, kata Al-Ajal. Kata ini dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 21 kali. Kata ajal sering disamakan secara salah kaprah dengan umur. Sesungguhnya, ajal berbeda dengan umur. Umur adalah usia yang kita lalui, sedangkan ajal adalah batas akhir dari usia (perjalanan hidup manusia) di dunia. Usia bertambah setiap hari; sedangkan ajal tidak. Dalam QS. Al-A’raf [7]: 34 Allah berfirman:

 وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.

Keempat, kata Al-Ruju’ (raji’). Kata ini dalam bentuk subjek diulang sebanyak empat kali, dan mengandung makna kembali atau pulang. Kematian berarti perjalanan pulang atau kembali kepada asal, yaitu Allah Swt. Karena itu, kalau ada berita kematian, kita baiknya membaca istirja’, Inna Lillah wa Inna Ilaihi Raji’un, sebagaimana difirmankan dalam salah satu ayat Al-Qur’an QS. Al-Baqarah [2]: 156:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.

Penulis: Mahdi Al-Atas.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles