spot_img

Kiai Said Aqil Siroj: Kiai Pesantren Ngaji Kitabnya Galak-Galak, Tapi Tidak Ada yang Radikal

Siapa yang tidak kenal kitab Fathul Mu’in. Karya Imam Zainuddin al Malibari ini hampir seluruh pesantren mengkajinya dan dijadikan kurikulum madrasah. Kitab yang cukup familiar di kalangan santri.
Kalau kita perhatikan kitab-kitab fikih yang biasa dibaca kiai-kiai pesantren cenderung “galak”. Termasuk kitab karya Imam Zainuddin ini. Bagaimana tidak, coba kita buka saja bab salat.
Pada bab tersebut dijelaskan bahwa konsekuensi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja adalah “dipenggal” lehernya jika setelah diminta tobat tetapi tidak mau.
ﻭﻳﻘﺘﻞ( ﺃﻱ )ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ( ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ ﺣﺪﺍ ﺑﻀﺮﺏ ﻋﻨﻘﻪ )ﺇﻥ ﺃﺧﺮﺟﻬﺎ( ﺃﻱ ﺍﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ، ﻋﺎﻣﺪﺍ )ﻋﻦ ﻭﻗﺖ ﺟﻤﻊ( ﻟﻬﺎ، ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺴﻼ ﻣﻊ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻭﺟﻮﺑﻬﺎ )ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺘﺐ( ﺑﻌﺪ ﺍﻻﺳﺘﺘﺎﺑﺔ، ﻭﻋﻠﻰ ﻧﺪﺏ ﺍﻻﺳﺘﺘﺎﺑﺔ ﻻ ﻳﻀﻤﻦ ﻣﻦ ﻗﺘﻠﻪ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻟﻜﻨﻪ ﻳﺄﺛﻢ. ﻭﻳﻘﺘﻞ ﻛﻔﺮﺍ ﺇﻥ ﺗﺮﻛﻬﺎ ﺟﺎﺣﺪﺍ ﻭﺟﻮﺑﻬﺎ، ﻓﻼ ﻳﻐﺴﻞ ﻭﻻ يصلى عليه.
Dibunuh bagi seorang muslim mukallaf yang bersih dari hadast secara hukum agama dengan memenggal kepalanya, jika dia dengan sengaja mengeluarkan waktu shalat yang telah diwajibkan dari waktu yang terhimpun bagi-nya, jika dia merasa malas yang disertai dengan keyakinan untuk melakukan ritual kewajibannya. Dan jika ia tidak bertobat setelah istitabah (diminta untuk bertobat).
Tapi anehnya kok enggak ada kiai pesantren yang radikal ya? Padahal kitabnya sebegitu galaknya.
Kiai-kiai pesantren adalah representasi dari para ulama Nusantara dahulu dalam berdakwah. Tokoh-tokoh yang berhasil membumikan nilai-nilai samawi. Menyatukan nilai-nilai agama dengan budaya.
Inilah mengapa sampai hari ini Indonesia tetap rukun meski terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama. Mereka tidak kaku (jumud) dalam beeragama. Termasuk kaku dalam memahami teks-teks syariat. Jelas Prof. Dr. KH Said Aqil Soroj, MA. dalam Simposium Nasional Islam Nusantara yang bertema “Islam Nusantara dan Tantangan Global” di gedung PBNU.
Imam Qarafi dalam kitab Al-Furuq menjelaskan “Kaku terhadap dalil naqli (normatif) adalah kesesatan dalam agama dan menunjukkan kebodohannya terhadap tujuan-tujuan umat Islam terdahulu.” Oleh sebab itu, kaidah yang popular “al ibratu bil maqashid” menjadi parameter utama dalam memahami teks agama adalah tujuannya, bukan hanya teksnya. Tujuan teks agama tidak lain adalah mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan dan menjauhi kerusakan dan marabahaya. Semua hukum Allah berorientasi kepada kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat.
Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthafa menjelaskan “setiap ajaran yang mengandung penjagaan terhadap lima hak dasar (al-kulliyyat al-khamsah, hak agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan) dinamakan kemaslahatan. Sedangkan semua hal yang meniadakan lima hak dasar tersebut disebut kerusakan.”
Manusia telah diberi amanat oleh Allah Swt. Saat langit, bumi dan gunung menyatakan ketidakmampuan mengemban amant itu, manusia yang gemar berbuat kezaliman dan bodoh dengan gagah berani menerimanya. Dalam Q.S  Al-Ahzab: 72 Allah berfirman,
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا… الأية
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
Ada dua amanat yang diebankan Allah kepada manusia. Pertama adalah amanat bersifat ilahiyah, samawiyah dan diniyah. Amanat ini berisi aqidah dan syariah.
Kedua adalah amanat bersifat insaniyah, ardliyah dan waqi’iyah. Amanat ini berisi tsaqafah (budaya) dan hadlarah (peradaban).
Wali Songo behasil memadukan kedua amanat ini dengan corak wasatiyah (moderat). Sehingga karakter Islam Nusantara tidak ekstrim juga tidak skuler.
Seorang pujangga yang bernama Ahmad as-Syauqi berkata,
وَإِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاقُ مَا بَقِيَتْ *** فَإِنْ هُمُ ذَهَبَتْ أَخْلاقُهُمْ ذَهَبُوا
“Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak dan berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) itu.”
“Martabat bangsa adalah budayanya, bukan tauhidnya, bukan agamanya. Tanpa budaya umat akan hancur,” tegas ketua umum PBNU itu.
Bukankah kita pernah dengar jargon “Hubbul wathan minal iman”, cinta tanah air bagian dari iman. Kalau kata Kiai Said Aqil diartikan “Nasionalisme adalah bagian dari iman”. Sebuah jargon patriotis dari sang ‘master piece’ Nahdlatul Ulama Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Dalam resolusi jihadnya, beliau berfatwa bahwa, barang siapa yang mati dalam rangka membela negara, maka mati syahid.
“Pengalaman para pejuang tokoh pemimpin Islam harus menjadi pelajaran. Muhammad Abduh gagal, Ibnu Taimiyah gagal, Jamaluddin Afgani gagal. Karena mereka tidak mampu menggabungkan agama dan budaya,” papar Kiai Said.
“Target kita adalah, mari kita berislam total, berbudaya maksimal,” pungkas putra kelima pendiri Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon itu.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles