spot_img

Ketum PBNU 3 Periode: Regenerasi itu Niscaya, Pengabdian Paling Utama

Menjelang pelaksanaan Muktamar PBNU 23-25 Desember 2021 di Lampung, bergulir wacana ‘penolakan’ pencalonan Said Aqil Siradj yang ketiga kalinya. Wacana ini muncul pasca Kang Said – sapaan KH Said Aqil Siradj – mengiakan untuk kembali mencalonkan diri menjadi ketua umum setelah diminta oleh sejumlah kiai dan sesepuh NU di berbagai wilayah. Penolakan didasari bahwa, perlu adanya regenerasi di tubuh pengurus NU, khususnya Tanfidziyah, dan memberikan kesempatan kepada yang muda untuk melanjutkan dan memajukan NU.

Bicara soal boleh atau tidak, agaknya tak elok jika sekadar wacana, asumsi, dan aspirasi saja. Perlu kembali merujuk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). NU merupakan organisasi besar, bahkan organisasi Islam terbesar di Indonesia, yang sudah mapan dengan tata aturan yang sudah disepakati secara bersama melalui mekanisme organisasi. Jika faktanya AD/ART NU tidak melarang kadernya mencalonkan diri sebagai ketua umum selama tiga periode, kenapa harus ditolak? Kemana sebetulnya rujukan berorganisasi para penolak ini bila bukan pada AD/ART NU?

Regenerasi di dalam sebuah organisasi itu sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung oleh siapapun, selagi tidak menabrak aturan-aturan organisasi, termasuk di dalam tubuh NU. Dan, membicarakan regenerasi NU lebih pantas di Banom-banom NU. Di sana kader-kader NU digembleng untuk siap menjadi pemimpin yang berkualitas, termasuk menjadi Ketua Umum PBNU. Rasanya sudah terlambat ‘ngomong-ngomong’ regenerasi di tingkat Tanfidziyah. Selama masih bisa memberikan maslahat bagi umat, tidak perlu dipermasalahkan mau tiga periode atau lima periode sekalipun.

Menjadi Ketua Umum PBNU tak sekadar berbicara soal dua, tiga, atau berapa periode. Yang paling urgen – lagi-lagi selama tidak melanggar aturan baku organisasi – adalah kemaslahatan dan totalitas khidmatnya bagi organisasi. Dulu, Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab, Mbah Bisri, bahkan Mbah Salah Mahfudz, berkhidmat menjabat di NU hingga wafat. Selain itu, Hasan Gipo selama 26 tahun (1926-1952), KH Idham Chalid selama 32 tahun (1952-1984), dan Gus Dur selama 15 tahun (1984-1999). Bisa jadi, ini yang menjadi pertimbangan kuat mengapa AD/ART pencalonan ketua umum PBNU tidak dibatasi hanya satu atau dua periode saja.

Sebagai organisasi Islam terbesar, peran NU di masa depan sangat penting memberi solusi-solusi terbaik dalam menghadapi problematika yang sedang dihadapi umat. Indonesia – misalnya – masih dihantui oleh gerakan radikal dan teror. Indonesia juga masih butuh meningkatkan pendidikan untuk menunjang kemajuan secara intelektual. Peran NU di dunia global juga sangat diperlukan, khususnya dalam menghadapi isu-isu kemanusiaan yang menghantui negara-negara Timur. NU masih membutuhkan pemimpin yang cakap menolak radikalisme-terororisme, masih harus mempertahankan pimpinan yang berhasil memajukan pendidikan khususnya bagi warga NU; dan, tentu masih butuh pemimpin yang diakui dunia sebagai pemimpin berpengaruh di tingkat global.[]

Penulis: Lufaefi, Warga NU Jakarta Selatan.

 

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles