Indonesia merupakan Negara yang dihuni oleh banyak keragaman di dalamnya, baik keragaman suku, ras, budaya, etnis, bahkan keragaman agama. Indonesia memiliki enam agama resmi yang dianut oleh masyarakatnya, mulai dari agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghuchu.
Meskipun demikian, Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, yaitu dianut oleh sekitar 229.62 juta jiwa. Bahkan, menurut data Global Religius Future, jumlah umat Islam di Indonesia merupakan jumlah terbesar di dunia dengan kisaran 87% dari jumlah keseluruhan warganya.
Fakta ini tidak lantas menjadikan tokoh-tokoh pejuang Bangsa dan para ulama di Indonesia bernafsu untuk membentuk Indonesia sebagai Negara Islam. Ulama-ulama sekali dr KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, dan ulama-ulama lainnya tidak berambisi mengubah Indonesia menjadi Negara dengan sistem Islam, sebagaimana diambisikan oleh para Penyeru khilafah islamiyah di Indonesia.
Apakah para ulama sekaliber pendiri organisasi-organisasi Islam terbesar ini tidak paham persoalan Negara Islam? Apakah mereka tidak lebih mumpuni dalam keilmuan dibandingkan para penyeru khilafah yang sampai saat ini gagal dan gagal lagi menjual sistem transnasional yang sama sekali tidak relevan dengan Negara Indonesia? Tentu saja jawabannya tidak. Mereka sudah terbukti keilmuannya. Silsilah keilmuannya tak dapat diragukan oleh siapapun.
Para ulama dan pejuang Bangsa Indonesia mengerti dan paham betul soal Islam dan syariat Islam. Bagi mereka, Islam dan syariat Islam lebih menekankan kepada perilaku, akhlak dan moral, sebelum seseorang bicara soal simbol. Indonesia dengan ideologi Pancasilanya memiliki visi dan misi sebagai Negara yang mengedepankan persatuan, kemanusiaan, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Nilai-nilai tersebut semuanya adalah nilai-nilai syariat Islam yang dikonfirmasi oleh agama Islam.
Tauladan mengedepankan akhlak dan moral sudah dicontoh dengan sempurna oleh Baginda Rasulullah Muhammad Saw ketika di Madinah. Sebagai pemimpin yang membawai ragam kelompok, golongan dan pemeluk agama, beliau Saw mengutamakan persatuan antar umat Islam dan umat agama lain. Beliau menata nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak pernah menganakemaskan satu kelompok dan merendahkan kelompok lain. Begitulah nilai-nilai Islam dalam Pancasila yang mengutamakan akhlak, moral dan kualitas umat.
Umat Islam di Indonesia, meskipun Negaranya tidak berbentuk Negara Islam, namun selalu dianakemaskan. Umat Islam bebas melaksanakan ibadah di manapun, entah di Masjid, Mall, Pasar, Kereta, bahkan di jalanan sekalipun. Tidak ada yang melarang. Mereka bebas mendirikan yayasan dan lembaga Islam dengan model apapun. Fenomena ini tidak lain adalah bentuk upaya untuk menguatkan Islam dan syariat Islam di Indonesia.
Betapa semeskinya kita bersyukur menjadi Bangsa Indonesia. Yang, meskipun secara simbol tidak menggunakan Negara Islam, dan ini pernah diajarkan Rasulullah Saw, tetapi umat Islam selalu diutamakan. Kita memiliki Kementerian Agama yang mengatur persoalan nikah, haji, bimbingan Islam, wakaf, zakat, dan lain sebagainya. Kita dibebaskan mengembangkan ekonomi syariah jika dirasa ekonomi konvensional ada unsur riba. Tidak ada yang melarang umat Islam.
Mengutip pendapat Ibn Asyur, syariat Islam pada dasarnya memiliki prinsip memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat, baik individu, kelompok ataupun untuk masyarakat urban. Tidak masalah seperti apa label simboliknya, asalkan semua kemaslahatan syariat terpenuhi. Dalam konteks inilah hukum-hukum, sistem dan ideologi Bangsa Indonesia yang diklaim tidak Islam perlu ditelaah. Dalam konsep kemaslahatan syariat Islam, hukum, sistem dan ideologi Bangsa Indonesia semuanya maslahat. Diadakan guna memberikan perlindungan agama, jiwa, harta, keturunan dan harga diri manusia [].
Penulis: Tim Redaksi.
Artikel asli dimuat di www.fkmthi.com.